Sejauh Mana Permasalahan Gender Bisa Masuk dalam Ranah Agama? Haruskah Ada Pembatas?
Duta Santri Nasional – Pangkal permasalahan utama gender adalah pembagian dan pemenuhan hak yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Hasilnya adalah munculnya pandangan ketidakadilan yang menempatkan perempuan sebagai objek yang bergantung pada laki-laki, dan meletakkan laki-laki sebagai penentu kehendak perempuan.
Reformasi konsep kesetaraan menjadi konsentrasi utama dalam membangun kehidupan sosial yang layak dan inklusif berbasis keadilan gender. Banyak pemikir yang berusaha meruntuhkan segala aspek yang menempatkan perempuan di bawah ‘kaki’ laki-laki.
Perubahan konstruksi politik pemerintahan hingga aspek budaya dan sosial menjadi salah satu bentuk upaya. Meskipun banyak perubahan yang terjadi, tetap saja permasalahan gender belum bisa diselesaikan. Selalu ada celah yang bocor setiap kali para pemikir melakukan reformasi untuk menghadapi tatanan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Pada satu titik, mereka jatuh pada satu kesimpulan bahwa untuk dapat mengatasi permasalahan gender yang terjadi di dalam masyarakat, mereka harus meruntuhkan dan memperbaiki konstruksi paling dasar dari permasalahan tersebut.
Akhirnya, mereka menjatuhkan kritik terhadap agama sebagai pola utama yang melegalkan ketimpangan gender sejak dulu hingga saat ini, atau bahkan hingga masa depan, apabila tidak segera di atasi dengan bijak.
Baca juga: Ngaji Literasi Digital Zona Pulau Bali: Menghadirkan Pengetahuan Digital bagi Santri
Para pemikir gender hampir semuanya memperbarui, bahwa agama yang ada saat ini adalah seksisme agama, dalam artian bahwa agama selalu menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih unggul daripada perempuan. Ketidakadilan yang dijustifikasi oleh agama dianggap sebagai pangkal dari penindasan terhadap kaum perempuan.
Selain itu, mereka juga berusaha merekonstruksi ulang ajaran agama tradisional yang bersifat mutlak, sejauh hal tersebut mampu mengeliminasi perbedaan status antara laki-laki dan perempuan.
Dalam perspektif inilah, mereka melakukan rangkaian kegiatan nyata seperti gugatan terhadap kepatuhan perempuan terhadap laki-laki dan bentuk konkret subordinasi perempuan dari wilayah publik.
Permasalahan gender semakin merembet ke ranah agama yang lebih dalam. Penafsiran Ayat Suci diduga kuat ikut serta melanggengkan adanya ketidakadilan tersebut. Perspektif laki-laki yang mendominasi dalam penafsiran ayat suci, secara tidak langsung menempatkan kehendak laki-laki untuk berkuasa. Hal inilah yang menjadi salah satu kritik besar para pemikir gender tentang studi kesetaraan dalam tubuh agama.
Dalam permasalahan yang lebih jauh, para pemikir gender melihat perempuan harus memiliki porsi yang setara dengan laki-laki. Bahkan dalam penyebutannya, para pemikir gender harus meletakkan perempuan di depan laki-laki, bukan sebaliknya (perempuan dan laki-laki bukan lak-laki dan perempuan).
Meletakkan urutan penyebutan yang salah, sama saja dengan melanggengkan ketidaksetaraan dan meletakkan perempuan di bawah laki-laki. Penyebutan kata sejarah dalam bahasa inggris yaitu history diduga juga memiliki konteks ketimpangan gender karena menggunakan kata ganti laki-laki his di dalamnya. Oleh karena itu, para pemikir gender radikal seringkali menggunakan kata herstory alih-alih menggunakan history untuk menyebut kata sejarah.
Baca juga: Rakernas I Duta Santri Nasional di Balai Diklat Industri: Penguatan Kelembagaan sebagai Fokus Utama
Konsepsi gender semakin merasuk jauh dalam tubuh agama. Salah satu hal yang membuktikan perjuangan keras membangun keadilan dalam tubuh agama Islam dilakukan oleh seorang tokoh feminis muslimah yang menerbitkan Tafsir Quran Berpespektif Gender. Tindakan kontroversial tersebut dilakukan oleh Amina Wadud yang menjadi imam sholat jumat pada tahun 2005 . Tepatnya pada tanggal 18 Maret 2005, Wadud menggelar sholat jumat di Gereja Katedral di Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street New York.
Tentu saja hal tersebut menimbulkan kontroversi yang luas. Di mana dalam sholat Jumat tersebut, diadzani oleh seorang perempuan ( muadzinah ) yang bernama Suheyla El Attar, yang mengundang sekitar 100 orang laki-laki dan perempuan. Kegiatan tersebut juga mendapat sponsor dari Muslim Women’s Freedom Tour,di bawah kepemimpinan Asra Nomani.
Gagasan para pemikir gender yang berusaha meruntuhkan konsep ketidaksetaraan dalam ayat suci agama, menjadi perbincangan serius. Pasalnya, kita sama sekali tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan kesetaraan dan ketidaksetaraan.
Di titik mana kita bisa mendeklarasikan bahwa kita sudah berada di dalam kesetaraan yang dicita-citakan. Masalah yang lebih jauh adalah sampai sejauh mana kita harus membuat ulang ayat-ayat suci agar mencapai bentuk kesetaraan yang diinginkan.
Sejauh ini, permasalahan gender masih sampai pada penafsiran ulang ayat-ayat hukum, permasalahan fikih, ubudiyah, muamalah, hingga rumah tangga. Tidak dapat dipungkiri, di masa depan permasalahan gender dalam tubuh agama akan masuk ke ranah teologis.
Pemaknaan nama dan sifat Tuhan harus dikonstruksi lagi agar sesuai dengan keselarasan konsep yang dicita-citakan. Jangan-jangan pada akhirnya, konsep Tuhan yang mukhalafatul lil hawaditsi harus disudutkan pada salah satu gender tertentu.
Baca juga: Ngaji Literasi Digital Zona Pulau Bali: Menghadirkan Pengetahuan Digital bagi Santri
Lalu, sejauh mana permasalahan gender bisa masuk dalam ranah agama? Akankah kita hidup di dunia yang direkonstruksi oleh perempuan dengan sudut pandang perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan?
Haruskah kita memberikan batasan pada pemikir gender dalam membahas hal-hal tersebut dalam ranah agama, ataukah membiarkan mereka “memperbaiki” tatanan yang menurutnya terpecah?
Bersambung….